Kekuatan Tidak Menentukan Kebenaran…

Oleh: Trevor Hauge. Teks aslinya berjudul “Might Doesn’t Determine Right…”, diterjemahkan oleh Sachadru.

…Tetapi Kekuatan Menentukan Rezim Kepemilikan Kita

“Kalian bodoh! Jika kalian mengambil kekuatan, kebebasan akan datang dengan sendirinya.” – Max Stirner, The Ego and Its Own

Pada 12 Desember 2023, halaman Facebook AFL-CIO memposting sebuah meme yang berbunyi:

“Elon Musk tidak membuat mobil, Jeff Bezos tidak mengantarkan paket Amazon, Howard Schultz tidak membuat minuman Starbucks. Orang kaya tidak menciptakan nilai. Pekerjalah yang melakukannya.”

Seperti biasa, para pembela kapitalisme membanjiri kolom komentar dengan pernyataan anti-pekerja mereka yang tipikal. Salah satu komentarnya berbunyi:

“Bayangkan masuk ke kelas ekonomi dan mengatakan bahwa kewirausahaan tidak menciptakan nilai.”

Sementara komentar lainnya bertanya:

“Jika orang kaya tidak memulai perusahaan, lalu bagaimana?”

Akhirnya, muncul seorang netralis yang menyatakan:

“Keduanya menciptakan nilai. Bagaimana mungkin ada satu tanpa yang lain?”

Dua komentar pertama mencerminkan keyakinan standar neoliberal bahwa pekerja hanyalah semacam embel-embel yang tidak diperlukan, dan bahwa semua kekayaan dalam masyarakat berasal dari wirausahawan “dewa-manusia” yang agung. Orang kaya digambarkan sebagai sosok yang turun dari istana megah di langit, membawa modal untuk memberikan pekerjaan yang, konon, merupakan berkat bagi kita semua. Jangan pedulikan dari mana modal awal itu berasal—modal tersebut selalu ada, muncul begitu saja dari ketiadaan (ex nihilo). Komentar terakhir adalah upaya menyedihkan, tetapi dengan niat baik, untuk mendamaikan sesuatu yang sebenarnya tidak dapat didamaikan. Namun, seperti yang disebutkan dalam mukadimah IWW:

“Kelas pekerja dan kelas pemilik tidak memiliki kesamaan. Tidak akan ada kedamaian selama kelaparan dan kekurangan melanda jutaan pekerja, sementara segelintir orang yang menjadi kelas pemilik memiliki segala yang terbaik dalam hidup.”

Sebagai seorang advokat militan untuk pekerja, respons alami saya adalah membela AFL-CIO dengan memposting komentar berikut:
“Bagi kalian yang bingung bagaimana tenaga kerja tidak bisa ada tanpa modal, bacalah ini: Modal BERASAL dari tenaga kerja.”

Saya kemudian menyertakan tautan ke karya Thomas Hodgskin Labor Defended Against Capital, sebagaimana layaknya seorang mutualis sejati. Sayangnya, otak saya yang cenderung obsesif tidak bisa melepaskan hal ini begitu saja. Saya mulai terlalu memikirkan topik ini, seperti yang sering saya lakukan. Saya mencoba mendefinisikan batas yang jelas antara kekayaan dan nilai.

Naluri saya selalu melihat debat seputar teori nilai sebagai hal yang penting tetapi bukan inti. Ini adalah masalah sekunder dalam pembelaan terhadap tenaga kerja. Toh, apa pentingnya cara nilai ditentukan jika pekerja tetap melakukan pekerjaannya? Bahkan jika terbukti secara final bahwa nilai sepenuhnya bersifat subjektif, menurut pandangan saya—dan pandangan banyak orang lain—itu tidak akan mengubah klaim moral tenaga kerja atas hasil jerih payahnya sedikit pun.

Alasannya sederhana: pekerja, tidak mengherankan, melakukan semua pekerjaan. Tanpa pekerja, tidak ada apa pun di luar apa yang diproduksi alam secara alami yang akan ada, berharga atau tidak. Sementara itu, tanpa kapitalis, segalanya akan tetap berjalan seperti biasa karena satu-satunya fungsi seorang kapitalis adalah memegang dan mengalokasikan modal. Jadi, apa itu modal? Modal hanyalah jenis sumber daya tertentu. Itu hanyalah istilah mewah untuk barang yang memiliki kegunaan. Orang mampu mengalokasikan sumber daya tanpa kapitalis melalui struktur-struktur libertarian seperti dewan pekerja atau bank mutual. Sebaliknya, seorang kapitalis tunggal tidak dapat memproduksi satu produk atau layanan pun tanpa pekerja. Singkatnya, kapitalis secara inheren membutuhkan pekerja, sementara pekerja, meskipun membutuhkan modal, tidak secara inheren membutuhkan kapitalis karena kapitalis hanyalah orang yang memiliki modal. Jelas kemudian, jika pekerja memiliki modal, mereka tidak lagi membutuhkan kapitalis.

Setelah menyadari hal ini, mudah untuk menyimpulkan bahwa nilai sebuah produk atau layanan dapat didasarkan pada waktu kerja atau preferensi subjektif konsumen, tanpa mengubah fakta tersebut sedikit pun. Sederhananya, sebuah pensil dibuat di pabrik oleh pekerja, dan tidak ada teori intelektual yang dapat mengubah fakta fisik tersebut lebih dari teori apa pun yang dapat mengubah keberadaan fisik oksigen. Sistem yang digunakan untuk menetapkan harga pada pensil tersebut adalah hal sekunder dibandingkan dengan konstruksinya yang sebenarnya.

Dan akhirnya, ada “gajah di dalam ruangan”; kekerasan negara. Satu-satunya alasan para kapitalis dapat memiliki modal sebanyak yang mereka miliki adalah karena ada legiun pembunuh yang disahkan oleh negara untuk mempertahankan klaim mereka.

Akhirnya, saya bertanya pada diri sendiri, apakah kita bahkan sedang memperdebatkan subjek yang tepat? Apakah teori nilai benar-benar yang harus kita fokuskan? Mungkin, sebaliknya, kita seharusnya bertanya pada diri sendiri bagaimana masyarakat bisa sampai pada titik di mana diskusi-diskusi seperti ini tampak begitu penting? Dan itulah saat saya menyadari bahwa sebelum kita bisa membicarakan semua ini, kita perlu menetapkan bagaimana keteraturan itu dicapai. Tanpa keteraturan, tidak akan ada masyarakat dalam bentuk apa pun, sehingga seluruh pertanyaan menjadi tidak relevan. Tanpa masyarakat, tidak ada bentuk kepemilikan apa pun; baik itu publik, privat, koperatif, atau komunal. Tanpa kepemilikan, tidak ada pertukaran, dan akhirnya tanpa pertukaran, tidak ada nilai.

Dalam hal keteraturan, saya menyimpulkan bahwa kekuatan adalah penyebab utama keteraturan, karena kekuatan diperlukan untuk memastikan keamanan. Tidak ada masyarakat yang dapat bertahan jika tidak mampu mempertahankan dirinya dari ancaman eksternal. Hal ini berlaku untuk semua masyarakat, baik yang berlandaskan negara maupun tanpa negara, tidak ada bedanya. Pada awalnya, seseorang mungkin tergoda untuk menyimpulkan pandangan otoritarian berdasarkan premis ini. Tetapi kekuatan sebagai konsep sepenuhnya kompatibel dengan anti-otoritarianisme jika tidak digunakan untuk tujuan dominasi, melainkan digunakan untuk mempertahankan diri dari dominasi. Perbedaannya terletak pada menggunakan kekuatan untuk memulai serangan versus menggunakan kekuatan untuk menghentikan serangan yang sedang berlangsung.

Seperti yang saya nyatakan dalam esai sebelumnya, segala bentuk kepemilikan dipertahankan melalui kekuatan. Hal ini berlaku pada kepemilikan komunitas sama seperti pada kepemilikan privat atau kepemilikan negara. Pertanyaannya bukan berkisar pada ada atau tidaknya kekuatan, tetapi siapa yang menggunakan kekuatan terhadap siapa, dan untuk tujuan apa?

Jika sebuah komunitas hanya menggunakan kekuatan terhadap mereka yang memulai kekerasan untuk tujuan eksploitasi, disposesi, atau dominasi, maka itu bukan negara dan tidak bertindak secara otoritarian. Jika kekuatan digunakan oleh kelas elite terhadap kelas pekerja, maka ada negara. Dalam skenario ini, “siapa” pertama yang dimaksud adalah masyarakat elite yang terpisah dari kelas pekerja. Kelompok yang mereka gunakan kekerasan terhadapnya adalah kelas pekerja, yaitu “siapa” kedua. Tujuan akhirnya adalah untuk membangun hubungan eksploitasi, disposesi, dan dominasi. Dalam skenario di mana tidak ada negara, “siapa” pertama menjadi komunitas yang setara, baik secara langsung melalui kekuatan mereka sendiri maupun melalui pihak ketiga yang mereka kontrakkan, dan “siapa” kedua hanya menjadi mereka yang berniat mengeksploitasi, mendisposesi, atau mendominasi. Tujuan akhirnya adalah mempertahankan masyarakat yang setara tanpa negara, atau masyarakat horizontal.

Dalam karya terkenal Proudhon tahun 1840, What is Property?, ia mengatakan bahwa “Masyarakat mencapai kesempurnaan tertingginya dalam persatuan antara keteraturan dan anarki.” Jika kita menerima bahwa anarki dalam konteks ini merujuk pada ketiadaan penguasa, bukan kekacauan, maka kita dapat menerima bahwa jaringan federasi komunitas otonom mungkin secara kolektif saling melindungi dari agresor potensial. Dalam skenario ini, masyarakat secara keseluruhan telah mengambil alih kekuatan, seperti yang dikatakan Stirner. Mereka telah bersatu sebagai individu yang bebas berkontrak untuk saling menjamin kebebasan dari agresor dan eksploitator. Di sini, tidak ada monopoli atas kekerasan, tidak ada aparat pertahanan khusus, melainkan hanya ada kekuatan kolektif yang tersebar.

Sekarang, mari kita tempatkan semua orang dan komunitas ini di sebuah pulau terpencil di mana belum ada kepemilikan apa pun. Bagaimana mereka memutuskan siapa memiliki apa? Untuk latihan ini, saya menemukan konsep dari dunia medis cukup berguna: persetujuan yang diinformasikan (informed consent). Menurut Perpustakaan Nasional Kedokteran, informed consent didefinisikan sebagai berikut:

“Persetujuan yang diinformasikan adalah proses di mana penyedia layanan kesehatan memberikan edukasi kepada pasien tentang risiko, manfaat, dan alternatif dari prosedur atau intervensi tertentu. Pasien harus memiliki kompetensi untuk membuat keputusan sukarela tentang apakah akan menjalani prosedur atau intervensi tersebut.”

Mari kita ubah sedikit definisi ini agar berguna dalam konteks kita dengan mengganti beberapa kata. Setelah modifikasi, definisinya mungkin berbunyi sebagai berikut:

“Persetujuan yang diinformasikan adalah proses di mana komunitas individu yang bebas berasosiasi mendiskusikan risiko, manfaat, dan alternatif dari suatu rezim kepemilikan tertentu. Semua individu dalam komunitas tersebut harus kompeten untuk membuat keputusan sukarela tentang apakah akan mengadopsi rezim kepemilikan yang diusulkan atau tidak.”

Kembali ke poin utama: saya menemukan bahwa pertanyaan tentang persetujuan sangatlah penting, sebagaimana halnya dengan setiap anarkis atau orang yang masuk akal pada umumnya. Jika masyarakat tidak menyetujui fondasi dasar dari masyarakat tempat mereka berada, maka kata “sukarela” hanyalah pemaksaan yang dibungkus dalam pakaian kebebasan.

Kita kemudian harus bertanya pada diri sendiri, apakah sekelompok individu yang bebas berasosiasi dan memiliki informasi yang baik akan menyetujui rezim kepemilikan awal yang menyebabkan keadaan kita saat ini? Saya tidak dapat membayangkan siapa pun yang akan setuju. Saya tahu saya sendiri tidak akan setuju. Kemungkinan besar, jika orang-orang bisa memulai dari awal, tabula rasa, mereka akan memilih bentuk distribusi tanah yang komunal, norma penggunaan dan okupasi, atau mungkin, meskipun lebih jarang, rezim yang melibatkan penerapan konsisten dari proviso Locke.

Tidak ada seorang pun yang mengetahui konsekuensi jangka panjang dari sebuah sistem yang memungkinkan satu kelas memonopoli kepemilikan dengan mengorbankan kelas lain akan menyetujuinya jika diberikan alternatif yang lebih baik sejak awal. Bahkan jika rezim kepemilikan saat ini tidak didirikan melalui proses panjang dan penuh kekerasan seperti penutupan tanah (enclosure), kecil kemungkinan bahwa masyarakat akan mengadopsi rezim seperti itu jika mereka tahu sejak awal bahwa hasil akhirnya adalah situasi di mana setengah populasi tidak mampu menyewa apartemen satu kamar.

Juga masuk akal untuk berasumsi bahwa jika orang-orang memilih untuk mengadopsi norma kepemilikan komunal atau berdasarkan okupasi dan penggunaan, maka norma-norma tersebut sangat mungkin juga berlaku pada alat produksi. Sebagai hasilnya, alat produksi secara de facto akan dimiliki oleh mereka yang menggunakannya. Jika itu terjadi, maka produk yang dihasilkan dengan menggunakan alat produksi juga secara alami akan menjadi milik mereka yang menggunakannya. Dalam skenario ini, teori nilai hanya akan relevan dalam diskusi di antara orang-orang yang setara, bukan antara pemberi kerja dan pekerja.

Para pekerja yang sekarang memiliki alat produksi pasti harus menentukan cara yang adil untuk mendistribusikan produk mereka dalam situasi yang membutuhkan pembagian kerja, seperti di jalur perakitan atau pengaturan pabrik lainnya. Namun, mereka tidak akan terlibat dalam diskusi tentang apakah hasil kerja mereka menjadi milik kapitalis atau pekerja, karena tidak akan ada kapitalis dalam tatanan anarkis seperti itu. Hanya akan ada orang-orang yang bebas dan setara.

Faktanya adalah bahwa keteraturan merupakan prasyarat untuk bahkan sampai pada pertanyaan tentang siapa memiliki apa. Namun, untuk menghindari perangkap negara, logika menunjukkan bahwa setiap orang harus menjadi pemilik properti dalam beberapa cara, bentuk, atau wujud. Tidak boleh ada yang memiliki dan yang tidak memiliki, jika tidak, komunitas elit akan berkembang, bersama dengan monopoli kekerasan dan ekonomi ekstraksi yang pada akhirnya berakhir pada sistem kenegaraan (statism).

Dan semua ini terjadi jauh sebelum kita sampai pada kekhawatiran yang lebih kecil seperti teori nilai. Meskipun teori nilai tentu penting ketika seseorang mulai merenungkan hal-hal seperti tingkat upah, mekanisme harga, dan distribusi barang, pada akhirnya teori ini bukanlah poros dari pertanyaan sosial seperti yang sering dianggap orang. Dalam kasus terbaik, teori nilai merupakan perhatian sekunder; dalam kasus terburuk, teori ini dapat bertindak sebagai pengalih perhatian yang menjauhkan kita dari rezim kepemilikan yang secara fundamental tidak adil yang ada di depan mata kita.

Kekuasaan mungkin tidak menentukan apa yang benar atau salah, tetapi kekuasaan jelas berguna dalam menentukan sistem awal yang mengatur siapa yang memiliki tanah, alat produksi, dan semua kesimpulan yang mengalir dari dasar itu. Jika cara utama masyarakat kita tiba pada keteraturan saat ini adalah melalui penaklukan kekerasan dari satu kelas atau kelompok terhadap yang lain, maka terlalu fokus pada perdebatan antara teori nilai tenaga kerja (Labor Theory of Value/LTV) dan teori nilai subjektif (Subjective Theory of Value/STV) bagaikan terobsesi pada mobil curian sementara ada seorang pembunuh berkeliaran bebas. Sementara kita sibuk mengejar pencuri, jumlah korban di kamar mayat terus bertambah.

LikedLiked